Reporter : Andiawan
Pura Penegehe adalah salah satu pura yang sangat disakralkan. Pasalnya tempat ini dipercaya sebagai tedung (pengayom/pelindung) secara niskala. Penguasanya dikenal pemurah, karenanya banyak pemohon umat terkabul. Seperti nunas keselamatan dan kesidhian. Tempat ini terkenal sangat angker, tak satu pun krama berani mengusik apalagi berbuat tidak senonoh bila tak ingin mendapat celaka.
Pura Penegehe demikian masyarakat menyebut pura yang berlokasi di wawidangan Desa Pakraman Selat Pandan Banten, Sukasada, Buleleng. Untuk mencapai lokasi, krama bisa menempuh dari tiga arah, yakni dari arah utara masuk melalui Desa Anturan, arah barat masuk melalui Desa Kalibukbuk, sedangkan dari arah selatan masuk melalui Desa Asah Gobleg. Ketiga tempat tersebut merupakan pintu gerbang niskalanya penguasa Desa Selat dan dijaga ketat berbagai ancangan.
Pura Penegehe, sudah tidak asing lagi bagi krama Desa Selat. Karena tempat ini berada di pinggir jalan utama dari arah utara menuju Desa Selat. Sesuai namannya, pura ini terletak di sebuah bukit yang keberadaannya dikenal sangat angker. Penegehe berasal dari kata tegeh berarti tinggi. Ketinggian bukit ini kurang lebih mencapai 50 meter. Di sisi barat dan timur, menganga jurang dengan kedalaman kurang lebih 100 meter dan siap menelan korban bagi yang lengah dan berani berbuat tidak senonoh di tempat ini.
Menurut salah satu tokoh masayarakat Desa Selat yang juga pemangku Pura Kahyangan Tiga, Jro Mangku Gede Madu, Pura Penegehe tersebut dulunya dibangun pada zaman penjajahan Belanda oleh Kumpi Siwi, Kepala Desa Selat waktu itu. Lebih lanjut Jro Mangku menceritakan, pura tersebut dibangun saat pembuatan jalan penghubung dengan desa tetangga.
Namun, pembuatan jalan tersebut selalu menemui kendala, sehingga Kumpi Siwi masesangi (berkaul-red) berjanji akan mendirikan sebuah palinggih jika pembuatan jalan itu bisa berjalan lancar. Kemudian salah satu krama mendapat petunjuk melalui pawisik, krama dilarang keras membuat jalan melalui atas bukit itu, melainkan di sebelah timur atau sebelah barat bukit.
Akhirnya Kumpi Siwi bersama krama memutuskan untuk membuat jalan di sebelah barat bukit dan pembangunan jalan itu berjalan lancar tanpa hambatan. Setelah rampung, Kumpi Siwi pun memenuhi janjinya membuat dua buah palinggih.
Berbagai keanehan sering kali mewarnai perjalanan, baik krama desa setempat maupun krama luar desa. Sebagai pintu gerbang lengkap dengan penjagaan, secara niskala setiap orang yang masuk ke Desa Selat selalu diperiksa terlebih dahulu di tempat ini. Mereka yang tak lulus pemeriksaan tersebut, tanpa sebab pasti akan dihadapkan dengan berbagai masalah. Di antaranya, ada yang jatuh ke jurang, dihadang makhluk gaib, bahkan kendaraannya terbakar tanpa sebab yang pasti serta kejadian lainnya.
“Sudah dua mobil terbakar di tempat ini, dan hingga kini belum diketahui penyebabnya,” ujar ayah tiga orang putra ini seraya menyarankan agar selalu berhati-hati jika melewati tempat ini, serta jangan lupa membunyikan klakson kendaraannya demi keselamatan.
Di atas bukit ini terdapat sebuah Blumbang berisi air dan airnya berfungsi untuk tirtha untuk malukat. Air ini terus mengalir walaupun musim kering, padahal tempatnya di atas bukit batu cadas. Konon, sekitar tahun 50-an, saking angkernya tak satu pun yang berani melewati tempat ini, apalagi merusak keberadaannya. Jika ada orang yang berani berbuat tidak senonoh di tempat ini, nyawa taruhannya.
Walaupun tempat ini dikenal sangat angker, namun Ida Bhatara di pura ini yakni Ida Bagus Mutering Jagat dan Ida Ayu Tedung Jagat dikenal pemurah/bares. Tempat ini sering dijadikan media untuk memohon sesuatu, seperti keselamatan, rezeki, nunas sentana, serta nunas kesidhian.
Banyak krama yang terkabulkan permohonannya. Itu terbukti, pada hari-hari tertentu banyak krama nawur sesangi, baik berupa pajeng, kain putih kuning, hingga babi guling. Seperti pengakuan Kadek Eka, salah satu krama yang sempat diwawancarai TBA, dirinya ngaturang babi guling dan suara angklung, karena keinginannya menjadi PNS terkabul. Ini baru segelintir orang yang sempat diwawancarai, banyak lagi krama lain yang mengalami hal serupa.
Berdasarkan pantauan wartawan TBA saat mengambil poto lokasi, banyak terdapat tumpukan canang masih segar. Itu artinya, tempat ini hampir tiap hari tak pernah sepi pamedek, terutama krama desa yang hendak pergi maupun datang bekerja di luar desa.
Di samping itu, di dekat palinggih itu banyak terdapat tedung atau pajeng (payung untuk sarana upacara-red). “Semua itu merupakan hasil aturan krama yang membayar kaul, setelah permohonannya terkabulkan,” ungkap Jro Mangku dengan nada datar.